Menciptakan SDM yang cemerlang dan berbudaya

Catatan:

Sebenarnya saya berencana untuk menyerahkan karangan ini untuk perlombaan menulis. Tetapi, karena permasalahan teknis, saya melewati tenggat waktu. Ya, sudahlah.

Jika kita membicarakan mutu SDM, satu hal yang sering terbesit di pikiran kita adalah pendidikan.

Memang betul pendidikan dapat dikatakan sebagai unsur terpenting dibalik SDM. Pendidikan bermutu, SDM juga akan bermutu. Tapi, apa yang kita maksud sebagai pendidikan bermutu?

Kita semua setuju bahwa disiplin sangatlah penting di pendidikan dan sebagai bangsa, kita jauh dari disiplin. Saya rasa akan aneh jika ada orang yang mau menyanggah pernyataan tersebut.

Tetapi, hal-hal yang akan saya bicarakan mungkin akan menyulut perdebatan. Saya tidak yakin bahwa anda semua akan setuju dengan saya.

Jika saya berkata kita perlu menghormati sosok-sosok yang jauh lebih berilmu dan berpengalaman, banyak dari anda yang akan mengangguk setuju. Tetapi, banyak manusia yang menganggap penghormatan dan penyembahan adalah dua hal yang sama.

Kita cenderung menuhankan sosok-sosok tersebut, lupa bahwa mereka juga manusia-manusia biasa yang juga rentan terhadap kelalaian dan kesesatan. Mereka bisa saja melakukan kesalahan dalam pemikiran mereka. Mereka bisa saja memiliki maksud-maksud tersembunyi dan dengan sengaja membohongi orang lain demi keuntungan sendiri.

Tetapi, pada saat yang bersamaan, kita juga berani-beraninya menuduh para pakar tersebut sebagai orang-orang yang sok tahu. Kita memandang rendah ilmu dan pemikiran kritis. Kita bangga akan ketidaktahuan dan kebodohan kita sendiri.

Untuk mengatasi ini, kita harus mengajari generasi yang mendatang cara-cara berpikir dengan kritis dan meneliti dengan seksama. Lebih penting lagi, kita harus menanamkan rasa keingintahuan, kerendahan diri dan keberanian untuk menentang kebohongan, terutama bila kebohongan tersebut keluar dari mulut sosok-sosok yang berderajat tinggi.

Jika usulan tersebut dilaksanakan, saya berani bertaruh generasi yang akan datang akan menghasilkan SDM yang tidah hanya berotak cemerlang, tapi juga tidak mau menginjak dan dinjak-injak orang lain.

Saya juga punya satu usulan lagi, usulan yang jauh lebih abstrak: mendidik mereka tentang kearifan budaya-budaya tradisional bangsa.

Tentu saja, banyak yang akan setuju dengan usulan saya. Saya sudah pasti bukan satu-satunya warga negara Indonesia yang ingin melestarikan warisan kebudayaan. Tapi, anda pasti bertanya apa hubungannya warisan budaya dengan SDM.

Jika sebuah negara giat melestarikan budaya tradisionalnya, berarti ia memiliki jati diri yang sangat khas; jika negara tersebut diberkahi keragaman budaya yang kaya, kekhasan tersebut akan semakin terasa. Jika negara memiliki jati diri kebangsaan yang khas, ia dapat mencetuskan karya-karya yang kemungkinan besar tidak bisa dihasilkan oleh negara-negara lain. Pada akhirnya, negara menjadi menonjol di pentas mancanegara.

Walaupun anda adalah warga negara Indonesia yang sudah sangat kebarat-baratan dan menganggap tradisi sebagai sesuatu yang terbelakang, mengenali kebudayaan nenek-moyang masih bisa bermanfaat.

Selain memelajari sejarah kehidupan mereka, anda juga dapat memelajari filsafat hidup yang mereka pegang teguh. Alhasil, anda menemui sudut-sudut pandang yang belum pernah anda pertimbangkan. Idealnya, wawasan anda semakin luas…. dan, jika ditambah dengan penalaran yang tajam, semakin mudah bagi anda untuk meluncurkan gagasan-gagasan mutakhir.

Bisa saja anda menangkis usulan saya dengan mengatakan angan-angan saya bisa diraih tanpa memelajari kebudayaan Indonesia. Tetapi, seperti yang saya katakan sebelumnya, kekhasan adalah unsur penunjang.

Kebudayaan yang berbau kebarat-baratan sudah “diteladani” di seluruh dunia. Jika anda hanya berkiblat ke arah barat, gagasan anda tidak akan begitu berbeda dengan yang dicetuskan orang-orang asing. Jika karya-karya anak bangsa tidak begitu berbeda dengan karya-karya luar negeri, untuk apa bangsa-bangsa lain mendayagunakan SDM dari Indonesia?

Sebenarnya bisa saja warga-warga Indonesia diperkerjakan oleh orang-orang asing selama keterampilan kita memadai. Tetapi, jika kita hanya andal di bidang-bidang pekerjaan di mana tugas merek hanya sekedar melaksanakan perintah atasan dan/atau pelanggan, kita hanya akan berguna “di belakang layar”.

Tentu saja bidang-bidang pekerjaan tersebut sangatlah penting bagi kehidupan kita dan hasilnya selalu kita nikmati. Mungkin saja anda sudah cukup puas dengan keberhasilan orang-orang Indonesia di balik layar. Tapi, bagi saya, keadaan tersebut masih belum cukup memuaskan.

Sepenting-pentingnya mata pencaharian tersebut, semua itu dapat dilakukan oleh setiap negara di dunia. Sedangkan mata pencaharian di mana kita bisa menonjol di depan layar mancanegara sudah terbukti sulit dilaksanakan dengan sukses. Hanya segilitar negara yang telah sukses melakukan pembaruan dan daya cipta yang tinggi.

Semakin banyak kita menghasilkan anak-anak bangsa yang bisa mencetuskan gagasan-gagasan mutakhir, semakin mudah bagi kita untuk bisa tampil di depan layar mancanegara…

…Dan, setelah hal itu tercapai, kita telah berhasil mengerahkan ketangkasan bangsa kita ke jenjang kejayaan yang belum berhasil diraih oleh sebagian besar bangsa di dunia.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

Author: The Stammering Dunce

I write blogs. I love to act smarter than I really am and I pretend that my opinions are of any significance. Support me on Patreon: https://www.patreon.com/user?u=9674796

Leave a comment