Kalau gak suka, ya bilang aja! Jangan cari-cari alasan!

Orang Indonesia sudah tahu bahwa kita bangsa yang malu akan dirinya sendiri.

Tentu saja, banyak perilaku anak-anak bangsa yang memalukan. Tetapi, kita juga malu karena hal-hal yang saya anggap sepele: malu karena warisan budaya kita sendiri.

Saya akan berikan dua contoh kasus.

Kasus pertama:

Di Facebook, di suatu postingan tentang makanan, ada seorang WNA keturunan Indonesia yang mengatakan dia tidak suka masakan Indonesia karena rasa rempahnya terlalu kuat dan “tidak berimbang”. Itu sebabnya dia lebih suka masakan India dan Thailand. Dia hanya suka masakan Indonesia yang dibuat di luar negeri.

Dia juga bilang masakan Thailand jauh lebih “berbudaya tinggi” daripada masakan Indonesian dan itu sebabnya kenapa restoran Thailand ada di mana-mana.

Kasus kedua:

Di Youtube, saya membuat komentar tentang budaya Indonesia yang jarang terlihat di panggung dunia. Tidak lama kemudian, ada orang Indonesia yang mengatakan bahwa ketidakpopuleran budaya kita disebabkan oleh ketiadaan ketulenan estetika.

Dia mengatakan budaya leluhur kita hanyalah jiplakan budaya Arab dan Tionghoa. Dia percaya itulah alasan kenapa orang asing lebih tertarik mempelajari kebudayaan Malaysia, Thailand dan Filipina.

Jika kita kaji dengan teliti, dalihan mereka tidak masuk akal.

Orang pertama bilang dia tidak suka masakan Indonesia karena rempahnya yang terlalu kuat dan “tidak berimbang”. Tapi, dia juga memuji masakan India dan Thailand….. yang juga terkenal akan rasa rempah yang kuat.

Orang kedua bilang budaya Indonesia hanya bisa “menjiplak” budaya luar. Tapi, dia juga memuji budaya Malaysia, Thailand dan Filipina….. yang juga dipengaruhi oleh budaya-budaya luar; hasilnya pun juga mirip dengan budaya Indonesia.

Mereka mengkritik Indonesia karena suatu hal… dan memuji negara-negara lain yang juga memiliki hal yang sama. Jelas sekali bahwa mereka bisa menyukai sesuatu, asalkan hal tersebut tidak berbau Indonesia.

Mereka juga mengatakan ketidakpopuleran budaya Indonesia disebabkan oleh mutunya yang rendah. Itu juga tidak masuk akal.

Jika kita telaah semua fenomena budaya-budaya yang mendunia satu persatu, kita akan temukan satu kesamaan: pemasaran. Hal itu bisa dilaksanakan oleh pemerintah untuk alasan diplomasi kebudayaan atau oleh perusahaan untuk mencari keuntungan semata.

Mau tidak mau, cara paling jitu untuk menduniakan suatu budaya adalah mempergelarkannya di panggung dunia. Tekun saja tidak cukup; kita juga harus yakin produk yang kita jual benar-benar bermutu.

Coba ingat-ingat: seberapa sering kita mendengar berita tentang orang Indonesia yang giat mempromosikan budaya kita di luar negeri? Saya yakin jawabannya “jarang” atau “tidak pernah”.

Lah, jangankan budaya, kampanye pariwisata saja kita entet-entetan. Di tahun 2019, Indonesia dikunjungi oleh 16 juta wisatawan asing. Singapura di tahun yang sama? 19 juta. Kita – negara terbesar keempat di dunia dan terbesar di Asia Tenggara – dikalahkan oleh negara berukuran imut dengan keberagaman budaya yang tidak seberapa.

Lagipula, jika ketenaran adalah bukti mutu tinggi, mengapa ‘makanan sampah’ (junk food) terkenal di seluruh dunia? Mengapa mie instan Indomie jauh lebih terkenal daripada hidangan tradisional Indonesia? Dengan logika itu, bukankah berarti ‘makanan sampah’ dan Indomie adalah makanan bermutu tinggi?

Beberapa tahun yang lalu, saya juga seperti dua orang tersebut, terutama jika menyangkut Bahasa Indonesia.

Dulu saya beranggapan Bahasa Indonesia – terutama bahasa bakunya – adalah bahasa dengan pengucapannya kasar dan datar, kosakatanya yang dangkal dan tidak berbobot dan tata bahasanya yang terlalu sederhana; itulah sebabnya saya lebih suka blogging dalam Bahasa Inggris. Sekarang, pendapat saya kurang lebih masih sama…. kecuali dalam satu hal.

Saya masih beranggapan grammatical tense berguna dalam mengurangi kerancuan waktu. Tapi, dari segi tata bahasa, saya akhirnya mengakui satu hal yang membuat Bahasa Indonesia lebih bagus daripada Bahasa Inggris: imbuhan-imbuhannya.

Tidak seperti di Bahasa Inggris, imbuhan di Bahasa Indonesia (dan di Bahasa Melayu pada umunya) jauh lebih menyeluruh dan selaras. Hanya dengan sekedar menambahkan awalan dan/atau akhiran, kita bisa mengubah makna sebuah kata dan mengurangi resiko kerancuannya. Tidak seperti di Bahasa Inggris, jarang sekali kita menemukan kata-kata lumrah yang memiliki berbagai arti.

Saya terlalu bertele-tele menjelaskan.

Inti dari ocehan saya adalah kita – sebagai orang Indonesia – berhak untuk tidak menyukai hal-hal yang berbau Indonesia. Tidak sesuai selera, mutu yang rendah, ketiadaan ikatan emosi, masalah kesusilaan, semua alasan sah-sah saja…

… Selama mereka masuk akal. Pada dua kasus tersebut, jelas-jelas alasannya tidak masuk akal.

Coba kita ingat kembali: Mereka mengkritik Indonesia akan satu hal dan memuji negara lain walaupun memiliki hal yang sama persis. Mereka juga beranggapan ketidakpopuleran budaya Indonesia adalah bukti mutunya yang rendah, walaupun jelas-jelas ada budaya asing bermutu rendah yang mendunia.

Mereka tidak suka hal-hal yang berbau Indonesia hanya karena mereka berbau Indonesia. Jika mereka adalah WNA yang bukan keturunan Indonesia, kita akan anggap mereka sebagai manusia penuh prasangka.

Tetapi, dua manusia tersebut adalah manusia berdarah Indonesia, yang sudah terpapar oleh kehidupan di dalamnya. Jelas sekali mereka malu akan jati diri mereka. Jika ada pilihan, mereka akan pilih untuk mengganti nenek moyang mereka dengan nenek moyang dari negara lain.

Pada saat yang bersamaan, mereka sadar bahwa keterusterangan mereka dapat memancing amarah orang Indonesia yang sok nasionalis. Akibatnya, mereka harus mencari-cari alasan untuk menutupi isi hati mereka yang sebenarnya.

Tapi, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, mau pakai wewangian sebanyak apapun, baunya akan tetap tercium juga.

Jika dua orang itu tidak merasa hina karena berdarah Indonesia, saya yakin ketidaksukaan mereka akan hal-hal berbau Indonesia akan jauh lebih bernalar dan tidak memojokkan bangsa tanpa alasan..

Oh ya, yang saya maksud sebagai orang sok nasionalis adalah mereka yang mengaku bangga menjadi orang Indonesia saat negara mereka dilecehkan atau dikritik tajam; tetapi, di waktu lainnya, mereka ogah melakukan usaha apapun yang bisa meninggikan martabat bangsa.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

Indonesian language is not easy as I thought it was

.As an Indonesian, I sometimes translate sentences from Indonesian to English and English to Indonesian for practical reasons and for fun. People -especially monolinguals- often don’t realise how difficult the act of translating can be. But, when it comes to translating dialogues, there is a disparity regarding the level of difficulty.

I personally find Indonesian-English a lot easier than English-Indonesian. While it is not the case for every native English speaker, many of them do speak colloquial dialects which are relatively intelligible to the standard register. Translating from Indonesian into English is not a hassle for me; I don’t feel weirded out about translating vernacular Indonesian sentences into standard(ish) English ones.

It is not as hassle free the other way around.

From what I observe, there seems to be an unspoken rule which mandates that every foreign language sentence -even ones written/spoken in vernacular English speeches- must be translated into standard(ish) Indonesian. On the surface, it seems to be a life-saving rule as the Indonesian language has many vernacular speeches of its own due to the country’s cultural diversity; determining which ones to choose would be nightmarish.*

But, I personally hate the “life-saving” rule. Why? Because no one -literally no one- speaks standard Indonesian as their everyday lives! People try defending it by asserting its status as the “proper” dialect. But, their defence will always be flimsy for two reasons.

One, linguistics does not believe in “proper” and “improper” dialects; they are all equal. Two, regardless how “proper” it is perceived by the masses, it is exclusively used in texts and scripted speeches; consequentially, dialogues written in it will always sound laughably rigid and unnatural.

I don’t know if Indonesian as foreign language classes ever tell students about how Indonesians speak in our daily lives. It would be a disservice for them if that wasn’t the case.

Don’t get wrong: I do think we need to learn standard Indonesian and we need to learn it formally. But, at the same time, we also need to learn the daily lives speeches from the street, as it is the only place where it can be “properly taught”.

And, because of the aforementioned sheer diversity of Indonesia, we also have to familiarise ourselves with more than one vernacular dialects. The only way to do that is to interact with as many Indonesians as possible, even better if they grew up in different regions.

That’s easy to do if you live in highly-populated cities with lots of migrants like Jakarta or, my hometown, Batam. But, if you live in a place with low number of migrants, you have to take the initiative of visiting other places. The further away, the better.

Of course, exposure can be achieved through media and pop culture consumption. But, the problem is Indonesian cultural industry is very Jakarta-centric. While non-Jakartan dialects have made appearances, the variety is strictly limited and their presence is almost solely used to stereotype non-Jakartans. It’s like trying to learn the many varieties of English and yet you learn by only consuming LA, New York and/or London productions.

Once you master a language’s standard register and its many vernacular speeches, you have become truly fluent.

The statement above is an obvious fact for truly multilingual people. But, it is not for some, who still believe standard registers are the only dialects worth learning, who still fail to realise that daily lives communication is as important, if not more.

Oh, and while it is not entirely related, I should also mention Indonesian names. They can add complications for foreigners who are struggling with Indonesian phonology.

Not unusual for any languages, there are indeed anomalies to it. But, most of the time, Indonesian words are pronounced as they are written. Once you get the general rule, uttering them would be as easy as a walk in the park.

Well, not really, because you have to deal with Indonesian names.

For one, there are Indonesians whose name use the Dutch-influenced old spellings, in which “c” is written as “tj”, “j” as “dj”, “y” as “j” and “u” as “oe”. Admittedly, there aren’t that many Indonesians with such names. Unless you dabble with colonial era artefacts, you almost never encounter the old spelling.

There are also Indonesians who bear foreign names, especially Arabic and western ones; the former is common among Arab-Indonesians and highly religious Muslims, while the latter is common among some Christians and Indonesians of Eurasian descent.

The Arabic names often have “kh” and “sh” spellings, which are almost never used in Indonesian language. With western names… well… it is no secret many of them are not always pronounced as they are written.

Then, there are parents who make their own rules.

I don’t know whether this is common among the masses or not. But, there are Indonesian celebrities who love giving their children “weird” names. There is a couple who name theirs Btari and Btara, even though they could have spelled the names as Betari and Betara (the “e” is a schwa (well, “e” is almost always a schwa in Indonesian)). There is also another who name their son Xabiru, even though they could have spelled it as Sabiru (as X is barely used in Indonesian, especially as the first consonant in a word).

Just because you master the phonology and orthography of the Indonesian language, that does not mean you have mastered Indonesian names. They are an entirely different beast.

.

.

I don’t know why I used to see Indonesian as an easy language. Maybe, it has something to do with grammatical tenses, which exists in English and doesn’t in Indonesian. But then, Indonesian (and Malay in general) has a strong affixes game which puts English’s to shame; it took me many years to truly appreciate their power. I guess my underestimation of Indonesian language was driven by cultural cringe.

But, at the same time, I also have a more compelling reason why I prefer to write in English over Indonesian.

In English, I can easily write in the standard register while still employing a conversational and even a personal tone. In Indonesian, doing so in the standard register is near impossible because my mind always associate it with absolute formality; if I try to sound conversational, I always end up sounding like a robot who tries to sound human and fails.

Of course, I could have simply written my blogs in vernacular Indonesian. I can comfortably chat in it. So, surely, writing blogs in it shouldn’t be a biggie, right?

Well, it is.

I want my blogs to maintain some level of formality. In English, I can add many colloquialism here and there and it would blend with the formality really well. In Indonesian, I have to restrain myself from using too much colloquialism, unless I want it to stick out like an infected sore thumb.

English allows formality and colloquialism to mingle with each other. Indonesian abhors the union, insisting both must stay segregated at all times.

.

.

*My fellow Indonesians would probably think I am making an issue out of nothing.

The thing is we do have a colloquial dialect that is not only understandable to virtually every Indonesian, but is also culturally neutral. If standard Indonesian is too rigid for you, the neutral vernacular would make a great alternative. No need to rummage all over the archipelago just to find the perfect dialect for the dialogues.

I don’t think this vernacular is rigid and unnatural like standard Indonesian is. But, the cultural neutrality makes it boring.

Speaking for myself, I do think regional accents and dialects are nicer to listen to. There is something inexplicably nice about them. Not only they sound genuinely friendlier, they can also amplify the playfulness, wittiness, frustration and anger of our words. They add liveliness and dynamism to dialogues.

Wouldn’t it be nicer if Indonesian translations of foreign works employ some regional colloquialism instead of the lifeless neutrality?

I first had this thought when I noticed how awful the dialogues in the Indonesian translation of Harry Potter are; the books are littered with attempts to use “proper” language, with results that only deserve nothing but laughter and pity.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

5cm: potentially deep, choose to be shallow

It has been more than ten years since I last read 5cm, an Indonesian novel written by Donny Dhirgantoro. My memory is foggy. But, I still remember the gist of it.

While Indonesia is not a global cultural powerhouse (which is pathetic considering the richness of our heritage), we have our share of novels translated into foreign languages. But, I can definitely say this one in particular will never be translated… and for two good reasons.

Reason number one is the pervasive presence of wordplay. It is not like in Harry Potter where the puns are hidden as place names and they have no effects on the narrative whatsoever.

Here, however, the puns are the dialogues. They affect the pacing, they are the jokes and they lighten the moods when needed.

The characters speak with Jakartan dialect, laced with English words, which is indicative of their cultural and socioeconomic backgrounds. Without the puns, it would be harder to characterise their motivations and their social statuses; while it may seem trivial for some, I want my immersions enhanced with genuine depth.

The second reason why this novel is untranslatable is also the reason why it is a massive disappointment.

To summarise the story, it tells the lives of a group of friends who ceases any contact for three months. The reason? Wanting to leave their friendship bubble and experience life with a different light.

Three months later, unbeknownst to most of them, one person planned a road trip for the gang, in which they will hike Mount Semeru, Java’s highest peak. To get there, they take an economic class train ride which is almost 24-hour-long instead of taking a plane ride (which is undoubtedly faster) or a business class train ride (which is undoubtedly comfier). After many arduous hours of hiking (their inexperience certainly does not help), they reach the peak just in time for a flag ceremony; their hiker friend makes sure they arrive on the morning of independence day. The novel ends with an epilogue set many years later, with them living lives none of us can predict.

Throughout, the characters have lots of philosophical musings, whether with themselves or with each other. From what I remember, they muse mostly about the meanings of life and what it means to be an Indonesian, the latter also includes commentaries about Indonesian mentality.

How the author treated his own idea, however, was unbelievably disappointing.

The philosophical dialogues proudly lack any subtleties; he felt the need to explain every thought, none of which were even that profound in the first place. It feels less like a philosophical novel and more like a preachy pamphlet.

The nationalism only worsens the shallowness. Instead of asking why Indonesians disregard their own homeland, it just simply demands us to love it….. just because.

Instead of subtly conveying how the characters feel about their own homeland, the book brazenly informs us about its positive features, as if knowing them is more than enough to make us love our country unconditionally. Not only that, a character calling off his plan to study abroad is seen as an act of love, love of his country.

It is very dishonest. It ignores that many Indonesians who study abroad -me included- eventually return home, some of whom develop a heightened appreciation for their country; because we have been abroad, we realise Indonesia does have strengths which many other countries lack.

It ignores the reasons why Indonesians hate their country: poor infrastructures, limited job opportunities, unappreciation of highly-skilled citizens, corruption, incompetent leaders, prejudice, widespread anti-intellectualism, sleazy media outlets, you name it. While cultural cringe is also a factor, the hatred is often justifiable. Educated Indonesians know damn well our country has strengths; but, the weaknesses are too big to ignore. It feels less like a social novel and more like a condescendingly-written children’s book with nationalistic agenda.

It is a giant pile of missed opportunities.

The author clearly set the story to become philosophical. Not only the characters face a sudden change in routines which greatly affect their daily lives, they also endure a once-in-a-lifetime physically and mentally-arduous journey. The ending’s lack of foreshadowing is a reminder of how unpredictable life is. In that situation, anyone are bound to contemplate about how they live their lives, albeit with varying depth. He could have asked what is the meaning of life.

The author also had the chance to discuss about what it means to be an Indonesian, especially when the characters are upper and/or middle class Jakartans who love western pop culture and speak with lots of English words, who travel to a relatively less affluent and more traditional part of the country. He could have also asked if the country is worth loving, how to balance love of one’s country and openness to the outside world.

Instead, he ended up with a pseudo-inspirational, borderline nationalistically chauvinistic piece of text. Even without the wordplay, the shallowness would still put foreigners off from even considering reading it.

It seems, at the time writing, he thought he was genuinely onto something and he thought writing his thoughts down did us a favour.

Obviously, I am projecting myself onto him; I never meet him, let alone knowing him personally. But, I genuinely cannot help it. The book’s content reminds me of my old self, who was a giant sanctimonious piece of shit.

In fact, me being one was the reason why I loved the novel. My pathetic excuse of a mind was so deeply inspired by it, I actually lent the book to a classmate of mine, thinking it would blow their mind… who lent it to another classmate and lost it in the process.

For a while, I hated losing my personal copy. But, after watching the film adaptation (which, admittedly, exceeded my low expectation), I finally realised how skin-deep the source material is. I guess the words hit different when they are spoken out loud.

I don’t know what will happen if I still own a copy. I can only imagine that pulling myself from the rut of self-righteousness would be an even more gruelling effort.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

Diajarin ngomong yang “benar”, malah ngambek

Setiap kali ada Youtuber yang mengajari penonton mereka cara berbicara bahasa Inggris dengan “benar” (perhatikan tanda kutipnya), pasti saja ada orang-orang yang marah.

Kenapa mereka marah? Mereka bilang logat tidak hanya ada satu. Jadi, menurut mereka, terserah kita mau ngomong kayak gimana.

Memang betul setiap bahasa memiliki berbagai macam logat. Memang betul juga bahwa di ilmu kajian bahasa, tidak ada yang namanya logat “benar” atau “salah”.

Tetapi, saya punya pertanyaan: mengapa anda belajar bahasa?

Jawabannya antara anda memang pencinta bahasa… atau anda ingin berkomunikasi dengan lebih banyak orang. Jika komunikasi adalah keinginan anda, jangan asal ngomong!

Adanya berbagai macam logat bukanlah alasan. Sebanyak-banyaknya mereka, tidak semuanya dianggap baku. Setiap negara ada yang namanya logat baku dan kegunaannya adalah mempermudah komunikasi antar warga negara; percuma adanya bahasa penyatu jika tidak ada logat penyatu.

Negara-negara berbahasa Inggris sadar bahwa bahasa yang mereka gunakan juga digunakan di negara-negara lain; mereka sadar bahwa logat baku mereka harus bisa dimengerti oleh warga asing. Itulah sebabnya kenapa logat-logat baku mereka cenderung mudah dimengerti orang luar, walaupun logat-logatnya terdengar jauh berbeda.

Lah, lu memangnya siapa? Kok bisa-bisanya bilang lu berhak ngomong sesuka hati dan harap semua orang ngerti?

Bayangkan jika ada orang bule mengucapkan Rupiah seperti Rupayah dan mengucapkan huruf C sebagai K…. dan mereka marah jika dikoreksi. Gak hanya lu gak akan ngerti, lu juga jadi gemes sampe ingin nabok mereka satu persatu.

Jujur saja, kita-kita yang bahasa Inggrisnya tergolong jauh lebih bagus juga ingin nonjok lu pade.

Makan seperti orang Indonesia 1: (tidak) merasa sah

Karangan dalam Bahasa Inggris.

Tidak ada yang namanya masakan Indonesia. Yang ada masakan-masakan Indonesia. Kata jamak.

Negara ini, negara nusantara yang diapit dua benua, memiliki ratusan suku bangsa. Pemerintah secara resmi mengakui enam agama dan masih banyak agama lain yang tidak diakui. Adat istiadat kita juga dibubuhi pengaruh Arab, India, Tionghoa, Belanda and Portugal. Keanekaragaman tersebut adalah bukti bahwa kita memiliki berbagai macam budaya dan itu artinya kita juga memiliki berbagai macam cara memasak.

Masakan Jawa dan Sunda hampir sepenuhnya bebas dari pengaruh asing, walaupun kesenian Jawa dan Sunda sendiri memiliki pengaruh besar dari India. Masakan Jawa terkenal akan rasanya yang manis; itu disebabkan oleh penggunaan gula merah dan kecap manis yang melimpah ruah. Masakan Sunda terkenal akan rasanya yang ‘seperti tanah’ (saya tidak tahu cara menerjemahkan earthy); itu disebabkan oleh penggunaan sayur-mayur mentah.

Sebagai kota di pulau Sumatra, Palembang bisa dibilang aneh karena masakannya dipengaruhi masakan Jawa dan pengunaan rempah yang tergolong minim. Mereka juga menggunakan ikan air tawar dan ikan laut; di Indonesia, masakan-masakah daerah cenderung menggunakan salah satu saja.

Masakan Minangkabau dan Melayu terkenal akan kuah santan mereka yang berbumbu, kental dan penuh kolesterol. Mereka dipengaruhi oleh India dan Timur Tengah. Masakan Melayu juga dipengaruhi Tiongkok dan adalah kerabat masakan Peranakan, yang juga berakar di Tiongkok dan dengan mudah ditemukan di Singapura dan Malaysia.

Walaupun kita juga punya hidangan Peranakan, hidangan Tionghoa yang minim rempah jauh lebih terkenal. Mereka lebih mirip dengan masakan Tionghoa yang ‘asli’.

Masakan Batak terkenal akan andaliman, rempah yang membuat lidah kebas dan kerabat dengan merica sichuan dan hidangan yang menggunakan isi perut sapi sebagai bahan. Sebagian orang Batak Kristen juga terkenal doyan memakan daging anjing.

Masakan Minahasa memiliki reputasi yang lebih ‘bejat’ karena, selain reputasi mereka sebagai salah satu masakan paling pedas di Indonesia, mereka juga menggunakan daging-daging ‘eksotis’ seperti daging kelelawar, tikus hutan, ular, monyet dan, tentu saja, anjing.

Bisa dibilang masakan Betawi adalah masakan yang paling ‘blasteran’ di Indonesia. Masakannya dipengaruhi oleh berbagai budaya daerah dan budaya asing. Masakan Betawi mencakupi semua budaya-budaya asing yang saya sebutkan sebelumnya! Karena kecangkupan luas itulah saya bingung apa yang membuat makanan Betawi khas. Entah kenapa, saya mengaitkan hidangan Betawi dengan wangi sereh, walaupun jelas tidak semuanya menggunakan bahan tersebut.

Saya hanya baru mencicipi segelintir hidangan-hidangan Indonesia. Tetapi, pengalaman sempit saya sudah menyingkap betapa beragamnya masakan Indonesia; ‘penjelajahan’ saya masih belum dimulai. Bahkan saya yakin orang-orang yang seumur-umur belum pernah makan makanan Indonesia akan mengakui keanekaragamannya hanya dengan membaca sumber-sumber daring terpercaya.

Keanekaragaman tersebut membuktikan bahwa Indonesia bisa memuaskan berbagai macam selera lidah. Dari segi ketenaran, makanan kita bisa saja dengan mudah mengalahkan makanan dari Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang terkenal homogen. Kita bisa saja menjadi salah satu pemain kuliner utama di tingkat dunia.

Sayangnya, dunia nyata berkata lain.

Ketenaran dapat diraih dengan embaran yang penuh percaya diri. Embaran tersebut harus dilaksanakan dengan kukuh dan kita harus percaya dengan kata-kata kita sendiri. Saya yang canggungnya minta ampun pun tahu soal itu!

Embaran kita terlalu lemah gemulai. Kita pemalas dan tidak percaya ucapan kita sendiri. Kita malu akan keberadaan diri kita sebagai manusia berbudaya. Kita merasa ‘sah’ hanya saat orang asing memuji kebudayaan kita.

Itulah sebabnya kenapa kita bisa menemukan banyak Youtuber asing yang membuat video tentang makanan Indonesia.*

Saya pernah bertemu orang Indonesia yang bangga akan masakan bangsa sendiri. Tapi, sebagian besar dari mereka hanya bisa menikmati hidangan Indonesia; bahkan, sebagian dari mereka hanya menyukai hidangan dari suku mereka sendiri.

Pada dasarnya, mereka bagaikan katak dalam tempurung.

.

.

*Saya seolah-olah mengatakan bahwa kehadiran Youtuber asing (entah kenapa, banyak dari mereka adalah orang Korea) yang mencari nafkah dengan makan makanan Indonesia adalah hal yang buruk.

Saya tidak merasa begitu. Bahkan, saya merasa kagum dengan sebagian dari mereka. Saya hanya ingin menegaskan bahwa orang Indonesia masih mendambakan pengakuan dari luar bak remaja yang tidak percaya diri.

Ada juga kekhawatiran kalau orang asing memanfaatkan ketidakpercayaan diri kita. Saya merasa kekhawatiran itu sah. Tapi, hanya karena sah, bukan berarti semuanya memang melakukan hal itu!

Jika mau menuduh mereka secara terang-terangan, usahakan kau punya buktinya. Perasaan kau yang dodol itu tidak bisa digunakan sebagai bukti!

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

 

Pelajaran-pelajaran yang saya ambil dari UN

Pelajaran pertama: Sekedar ‘belajar’ itu percuma.

Pendidikan formal menuntut kita ‘belajar’ hanya dengan sekadar menghafal dan mengharapkan nilai dan masa depan cerah sebagai imbalan. Tuntutan tersebut semakin menguat saat kita dihantui bayangan UN yang tentu saja ampuh membunuh keinginan siswa untuk menimba ilmu.

Idealnya, kita juga harus belajar berpikir kritis agar kita tidak mudah terhasut oleh informasi yang kita terima. Kita juga harus belajar karena kita suka menimba ilmu tanpa mengharapkan imbalan; keikhlasan tersebutlah yang memperluas cakrawala kita.

Walaupun kehidupan kuliah jauh lebih menuntut dan gelar tidak akan pernah bisa menjamin masa depan cerah, saya lebih suka belajar di universitas.

Memang betul, tuntutan nilai masih ada. Tetapi, karena saya yang memilih jurusan sendiri, sebagian besar mata kuliah cocok dengan minat saya. Ditambah lagi, kita belajar tidak dengan sekedar menghafal, tetapi juga menelaah setiap embaran yang kita terima.

Penerapan pendidikan tinggi memang jauh dari sempurna dan tidak luput dari masalah indoktrinasi. Pendidikan tinggi juga bersifat formal sehingga tidak cocok bagi semua orang.

Tetapi, dibandingkan pendidikan tingkat dasar dan menengah, pendidikan tinggi jauh lebih berhasil dalam menyediakan wadah bagi mereka yang ingin belajar dengan sepenuh hati.

Pelajaran kedua: Di Indonesia, kejujuran adalah suatu kelemahan.

Di UN SMP dan SMA, saya bisa dibilang adalah satu dari segelintir murid yang tidak mau menyontek. Karena saya tinggal Indonesia, negara yang terkenal akan budi pekertinya, banyak orang di sekitar menghina saya.

Baik murid dan orang tua saya sendiri, mereka menganggap saya sok pintar dan sok suci. Guru-guru dengan bersedia tutup mata tentang kecurangan yang dilakukan anak-anak didik mereka.

Saya berhasil lulus UN SMP dan SMA dengan nilai rata-rata yang lumayan bagus dan saya raih itu tanpa melakukan kecurangan. Nilai-nilai itu adalah murni hasil jerih payah saya.

Tetapi, hingga saat ini, saya masih belum menerima pujian akan keberhasilan tersebut. Bahkan, masih ada yang bilang saya lulus karena keberuntungan semata. Saking mereka mementingkan hasil akhir, mereka dengan gampangnya memuliakan kecurangan dan merendahkan kejujuran.

Jika mereka tidak memuliakan kecurangan, mereka tidak akan melontarkan hinaan dari mulut comberan mereka.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa kemuliaan harus dilakukan dengan ikhlas, tanpa rasa riya. Selain membohongi diri sendiri dan orang lain, rasa riya juga membuat kita memiliki harapan palsu akan sekeliling kita.

Dengan polosnya, kita akan mengharapkan pujian dari orang lain. Jika kita beruntung tinggal di negara-negara bejat seperti Indonesia, yang kita akan dapatkan hanyalah mulut-mulut comberan penuh celaan. Yang ada kita makan hati.

Namanya juga manusia, walaupun saya tidak mengharapkan pujian (dan saya sudah tahu betapa bobroknya akhlak orang Indonesia), hinaan itu tetap saja menyakitkan.

Bayangkan jika saya mengharapkan pujian. Saya yakin saya akan menjadi pribadi yang jauh lebih sinis daripada sekarang.

Apakah Indonesia adalah negara yang penuh berkah?

Tidak.

Banyak orang bilang kita negara yang penuh berkah karena kita bisa menanam hanya dengan menancapkan tongkat kayu ke tanah dan kita memiliki warisan alam dan kebudayaan yang sangat kaya.

Itu bukan keberkahan, itu adalah keberuntungan. Kita beruntung bahwa kita lahir di sini. Kita beruntung orang tua kita lahir, besar dan/atau memilih tinggal di sini. Kita dilahirkan sebagai orang Indonesia sama saja kita menang lotre. Lagi pula, jika penjajahan Belanda tidak mencakupi Sabang hingga Merauke, alam dan kebudayaan Indonesia tidak akan sekaya sekarang.

Itupun juga kita menyia-nyiakan keberuntungan itu.

Pelestarian alam dan kebudayaan kita sangatlah buruk. Alam dengan mudahnya rusak akibat keserakahan manusia dan budaya dengan mudahnya tergerus zaman. Belum lagi korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang masih merajalela dan disepelekan oleh khalayak.

Entah kita pura-pura bodoh… atau kita narsis.

Kok bisa-bisanya kita melihat kebobrokan diri sendiri dan menganggap kita jauh lebih pantas diberkahi dibandingkan bangsa-bangsa lain? Memangnya apa saja hal-hal mulia yang hanya bisa dilakukan oleh Indonesia dan tidak bisa dilakukan bangsa-bangsa lain? Memangnya apa andil kita dalam perkembangan akhlak dunia?

Tentu saja, banyak juga negara di dunia yang gagal melestarikan alam dan warisan budaya mereka sendiri. Banyak juga yang gagal menegakkan HAM.

Tetapi, hanya karena negara lain juga jelek, bukan berarti kita bisa seenaknya bilang negara kita bagus. Tahi akan selalu menjadi tahi, meskipun dikelilingi tahi-tahi yang lain.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

Menjadi orang Indonesia 2

Di Facebook, banyak yang mengatakan bahwa kita seharusnya menghargai tindakan pemerintah dalam mengatasi pandemik yang sekarang masih terjadi; menurut mereka, pemerintah sudah berupaya sekeras mungkin dan tidak ada satupun negara yang lihai mengatasi kegentingan ini.

Tentu saja, hanya orang goblok yang percaya itu.

Pertama, bukannya mereka waspada dan melakukan pencegahan, pemerintah malah bongkak.

Dibilangnya kita adalah negara yang sudah mampu menghadapi wabah, walaupun jelas-jelas pelayanan kesehatan kita selalu reyot sejak zaman kuda gigit besi. Sejak kapan sih negara kita jagoan di bidang kesehatan?

Dibilangnya juga kita adalah negara yang diberkati oleh Yang Maha Esa, seolah-olah kita adalah satu-satunya negara yang pantas menerima berkah. Kok bisa-bisanya bilang kita, negara yang penuh dengan orang-orang biadab, pantas diberkati?

Jangan lupa, pada bulan Februari lalu, pemerintah menyiapkan dana 72 miliar untuk para influencer luar negeri agar mereka mempercantik citra Indonesia, seolah-olah pemerintah sudah menyerah sebelum wabahnya datang menyerang.

Kedua, sudah jelas ada negara-negara yang jago mengatasi pandemik ini.

Di Korea Selatan, virusnya sudah mewabah sejak akhir bulan Januari dan angka kematiannya 211. Di Malaysia, sudah mewabah sejak akhir Januari, angka kematiannya 70. Di Selandia Baru, sudah mewabah sejak akhir Februari, angka kematiannya 4. Di Singapura, sudah mewabah sejak akhir Januari, angka kematiannya 7.

Taiwan adalah negara yang secara geografis dekat dengan Tiongkok dan memiliki banyak penerbangan dari dan ke Tiongkok. Tetapi, angka kematiannya hanya 6. Taiwan sudah melakukan pencegahan sejak bulan Desember; sangking cepatnya mereka bertindak, Taiwan tidak perlu melakukan lockdown! Kalau saja mereka lamban, kemungkinan penyakitnya sudah mewabah dan memakan banyak korban sebelum tahun baru.

Indonesia? Baru mewabah sejak awal Maret, angka kematiannya 306, lebih tinggi daripada angka orang yang sembuh.

Seseorang ‘menyanggah’ pernyataan saya dengan mengingatkan bahwa kita tinggal di Indonesia dan cara-cara luar negeri belum tentu saja cocok untuk kita.

Walaupun itu memang betul, permasalahannya adalah cara kita menanggapi pandemik adalah dengan bersombong ria dan cara luar negeri adalah dengan bersiap siaga! ‘Sanggahan’ itu hanyalah ocehan orang kolot berotak udang dan sama sekali tidak berdasarkan akal sehat.


 

Kita sering mengecam pemerintah yang kita anggap bobrok. Tetapi, setiap kali mereka dikecam orang luar, mereka malah kita bela! Saking maunya kita bangga sebagai orang Indonesia, kita rela membela negara kita di panggung dunia, walaupun jelas-jelas negara kita yang salah!

Jika kita ingin bangga akan negara sendiri, bukankah kita seharusnya berpendirian teguh dan dengan tegas meminta pertanggungjawaban dari pemerintah dan sesama warga negara? Bukankah kita seharusnya malu mengelu-elukan yang salah?

Setiap kali kita disarankan untuk menggunakan cara-cara baru, kita selalu bilang cara-cara tersebut hanya cocok diterapkan di negara-negara lain dan menganggap cara-cara kita yang gunakan cocok untuk negara kita, walaupun jelas-jelas banyak cara kita yang terbukti keliru dan hanya memperkeruh masalah.

Kita juga menganggap cara luar negeri juga akan menggerus jati diri bangsa.

Jika kita memang khawatir tentang kekhasan bangsa, mengapa kita tidak melestarikan warisan budaya bangsa dengan lebih ulet? Mengapa kita harus mempertahankan cara-cara berkehidupan kita yang jelas-jelas mengekang kemajuan bangsa?

Kegoblokan, berpendirian lemah dan berpikiran tertutup sudah sangat mendarah daging di negara kita, sampai-sampai sebagian dari kita menganggap watak tersebut adalah syarat-syarat yang harus kita penuhi untuk menjadi orang Indonesia.


 

Ada satu upaya pemerintah yang patut dipuji: menindak secara hukum mereka yang mengusir pekerja medis dari tempat kos-kosan dan menolak pemakaman para korban di kampung mereka.

Jika tindakan hukumnya benar-benar dilaksanakan, saya tidak yakin semua orang-orang itu sadar akan kekhilafan mereka. Tetapi, saya berharap mereka semua dicap sebagai manusia hina, walaupun hanya sementara.

 

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

 

 

 

 

 

 

 

Menjadi orang Indonesia

Saya lahir di Indonesia. Bahasa pertama yang saya pelajari adalah Bahasa Indonesia. Kedua orangtua saya WNI dan ibu saya penutur Bahasa Sunda. Sebelum memasuki jenjang perguruan tinggi, saya hanya menghadiri satu sekolah mancanegara; itupun saya masih dikelilingi murid-murid WNI lainnya dan sebagian kelas masih menggunakan pengantar Bahasa Indonesia. Di SMA, saya dikelilingi oleh murid-murid yang berbicara dengan berbagai macam logat daerah. Saya mulai banyak menjalin hubungan dengan orang-orang asing saat saya mulai aktif di jejaring sosial, saat saya berumur delapan belas tahun.

Tetapi, entah kenapa, keindonesiaan saya baru benar-benar mencuat saat saya sudah dewasa.

Saya tumbuh besar menyukai masakan luar dan memandang rendah masakan Indonesia yang saya anggap ‘kayak jamu tapi yang dimakan’. Saya lebih menghargai karya-karya seni yang kebarat-baratan daripada yang berkhas Indonesia. Saya berharap untuk meninggalkan Indonesian untuk selamanya. Saya merasa kebarat-baratan.

Tentu saja, saya sudah berubah.

Saya makan masakan dan menonton pertunjukan kesenian adat-istiadat Indonesia dengan senang hati. Keinginan saya untuk meninggalkan Indonesia dan sifat kebarat-baratan saya juga jauh berkurang.

Saya masih tidak tahu mengapa saya yang dulu seperti itu.

Mungkin saja karena masa kecil saya tidak terpapar oleh hal-hal yang berbau Indonesia. Mungkin saja karena ibu saya yang entah kenapa tidak mengajari anak-anaknya belajar bahasa daerah. Mungkin juga karena saya sering makanan yang tergolong asing.

Tetapi, jika dipikir-pikir, yang saya sebutkan di atas juga dialami orang lain; sepengetahuan saya, mereka tidak pernah merasa asing di negara sendiri. Jati diri mereka selalu Indonesia.

Saya tidak kebingungan tentang perubahan diri saya.

Tentu saja, berjalannya umur selalu berbarengan dengan meluasnya cakrawala. Saya sudah pasti semakin lebih banyak terpapar oleh hal-hal yang kebaratan-baratan. Tetapi, pada saat yang bersamaan, saya juga lebih sering terpapar oleh hal-hal yang berbau Indonesia.

Semakin sering saya mencicipi berbagai jenis keju dan roti Eropa, semakin sering juga saya mencicipi berbagai jenis gulai dan ‘salad-salad’ Indonesia seperti gado-gado dan urap. Semakin sering saya mendengar musik barat, semakin sering juga saya mendengar musik khas Indonesia seperti lagu-lagu daerah dan karya para pemusik seperti Guruh Soekarno Putra dan Kua Etnika. Semakin saya mendengar tentang kasus-kasus SARA di negara-negara barat, semakin saya sadar bahwa kehidupan antar suku bangsa relatif damai dan penuh keselarasan menurut patokan mancanegara.

Saya akhirnya dapat membandingkan Indonesia dengan dunia barat secara saksama dan perbandingan itu membuktikan bahwa keindonesiaan adalah sesuatu dengan kekhasan tinggi dan seluk-beluk yang membuatnya mustahil diringkas

Sebagian adat-istiadat kita jelas-jelas adalah hasil berbagai pengaruh asing, kebudayaan kita memiliki keanekaragaman yang hanya bisa disaingi oleh India, Papua Nugini dan negara-negara Afrika tertentu dan Indonesia adalah negara bermayoritas Muslim yang masih mendayagunakan perlambangan Hindu sebagai perlambangan bangsa. Bagaimana bisa diringkas?

Indonesia adalah negara yang bisa menonjol dengan sendirinya. Jika warga-warganya mau merangkul keindonesiaan dengan tulus, kita akan lebih piawai mencetuskan gagasan yang mutakhir dan alhasil, membuat kita lebih sering berperan-serta dalam perkembangan dunia.

Jelas saya tidak mentah-mentah memuji semua yang ada di dalam negeri.

Masakan kita masih terlalu tergantung kepada minyak sawit dan nasi putih, kebudayaan pop sama sekali tidak berbobot dari segi estetika dan keaslian, ketergantungan kepada pola pikir yang kolot menghalangi kita untuk berpikir lebih jernih. Ditambah lagi, hubungan antar kelompok beragama dan ras tidak sebagus yang digembar-gemborkan.

Berlawanan dengan nalar, semakin saya mengetahui kejelekan bangsa, semakin erat saya memeluk jati diri Indonesia saya.

Tidak seperti dulu, sekarang saya tidak lagi gandrung kepada kesempurnaan yang mutlak, sesuatu yang hanya ada di dunia dongeng; menampilkannya sebagai kebenaran adalah salah satu bentuk pendustaan. Ketidaksempurnaan tidak pernah merasa terpaksa untuk mendusta; alhasil, ketulenan sisi baik yang ditampilkan jauh lebih terjamin.

Nasionalisme buta menjelma karena warga merasa negara mereka sepenuhnya rupawan. Tapi, menurut pengalaman pribadi saya, merekapun tidak tahu bentuk kerupawanannya.

Karena pandangan mereka yang hitam-putih, mereka tidak sadar bahwa kehidupan dipenuhi oleh warna abu-abu yang sulit ditembusi. Mereka yakin stereotip seratus persen sahih. Kecuali anda menganggap suka berprasangka sebagai watak yang terpuji, anda tentunya sadar stereotip hanya akan selalu menyesatkan anda dan menyeret anda ke alam gelap gulita yang di mana anda akan kesulitan meloloskan diri.

Saya memang terkesan lebay. Tetapi, itulah yang saya alami sendiri.

Sebenarnya riwayat hidup saya di tulisan ini kurang lengkap. Saya dulu memang tidak suka semua yang berbau Indonesia. Tetapi, pada saat-saat tertentu, saya juga seorang nasionalis buta.

Saya tidak peduli apa itu keindonesiaan yang sebenarnya. Saya hanya peduli dengan cap Indonesia. Apapun yang bercap luar negeri saya anggap rendah, walaupun di dalam hati saya masih lebih suka yang buatan asing dan tidak mau mengakui itu. Bahkan saya pernah beranggapan kita harus selalu membela negara, meskipun negara kita jelas-jelas salah.

Nasionalis, tapi tidak tahu apa-apa tentang negara sendiri dan tidak mau menghormati warisan nenek moyang.

Saya akui cerita saya membingungkan dan sulit dipercaya. Ditambah lagi, saya tidak pandai membujuk orang lain agar mempercayai perkataan saya. Jadi, saya hanya bisa menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut:

Mengapa anda menganggap diri anda orang Indonesia? Jangan jawab ‘kewarganegaraan’ dan/atau ‘lahir dan besar di sini’. Terlalu gampang.

Apa saja yang anda sukai dan benci dari Indonesia? Apakah anda mengalami atau mengamatinya secara langsung? Atau apakah mereka sesuatu yang anda sekedar dengar dan baca alias kabar angin?

Saya menganggap diri saya Indonesia karena, sejelek-jeleknya negeri ini, saya sudah terikat secara emosi. Walaupun saya akhirnya tinggal di luar negeri untuk selamanya, saya tidak yakin keindonesiaan saya akan pernah hilang.

Anda sudah tahu apa yang saya sukai dan benci dari Indonesia dan mereka semua saya alami dan amati secara langsung. Sebagian besar cerita-cerita apik tentang Indonesia yang diembarkan orangtua, sekolah dan media hanyalah igauan semata; keapikannya ternyata terlalu dibesar-besarkan atau bahkan tidak pernah ada dari dulu.

Intinya adalah jati diri kebangsaan harus patut direnungkan.

Kita memang selalu diserukan oleh tokoh-tokoh masyarakat tertentu untuk merenungkan jati diri kebangsaan bersama-sama. Tetapi, entah kuping saya yang bermasalah, saya tidak pernah mendengar mereka mengajak kita untuk merenungkan sebagai pribadi-pribadi tersendiri.

Suatu kelompok sudah pasti terdiri atas ‘anggota’ yang berbagai rupa. Menurut saya aneh jika sebuah perenungan yang melibatkan khalayak tidak dilakukan pada tingkat perorangan.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

 

 

 

 

 

 

 

 

Anak IPA vs Anak IPS

Saya lulus SMA sepuluh tahun yang lalu.

Hingga hari ini, masih terngiang-ngiang di pikiran saya celaan yang selalu diarahkan kepada siswa-siswa SMA yang memilih jurusan IPS. Mereka selalu bilang anak-anak IPS itu bodoh dan pemalas karena mata pelajaran yang pelajari dianggap sepele dan tidak bermutu.

Saya tidak tahu apakah selama satu dasawarsa terakhir ini aib tersebut telah menyusut di sekolah-sekolah. Yang sudah pasti, aib itu masih merekat di pikiran-pikiran orang-orang jauh lebih tua.

Sebagai anak jurusan IPS sendiri, celaan tersebut tentu saja saya masukkan ke hati. Percaya tidak percaya, anak-anak IPS juga manusia; bukan hanya anak-anak IPA saja yang punya perasaan.

Tetapi, celaan tersebut juga menjengkelkan karena menggunakan penalaran yang buruk… atau, jika saya tidak mau repot-repot sopan, orang-orang itu pada goblok semua.

Saya masih tidak mengerti mengapa ilmu sosial selalu dianggap enteng. Sesusah-susahnya ilmu alam, pokok yang dipelajari selalu berwujud dan dapat diukur dengan tepat.

Di ilmu sosial, pokok yang dipelajari cenderung bersifat tanwujud dan pengukuran harus dilakukan dengan hati-hati agar sampel yang digunakan benar-benar representatif. Di ilmu-ilmu humaniora seperti filsafat, pokok yang dipelajari sepenuhnya bersifat tanwujud dan pengukuran mustahil diterapkan. Kita harus jauh lebih bisa mengendalikan prasangka kita sendiri.

(Catatan: saya juga harus menyebut ilmu-ilmu humaniora karena mereka dan ilmu-ilmu sosial selalu merintangi jalan masing-masing. Saya sadari itu saat saya masih kuliah kajian media)

Semua orang  tahu manfaat yang diberikan ilmu-ilmu alam kepada umat manusia; ilmu-ilmu terapan seperti ilmu kedokteran dan ilmu teknik tidak akan pernah ada tanpa mereka. Tetapi, masih banyak dari kita yang menyangsikan manfaat dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Tanpa mereka, kita tidak akan bertanya tentang mengapa manusia memiliki perilaku tertentu dan mungkin kita tidak akan sadar bahwa perilaku-perilaku yang kita tolerir atau junjung tinggi ternyata adalah penyakit-penyakit masyarakat yang menghalangi kita untuk menjadi lebih bernalar dan beradab.

Tanpa mereka, kita juga tidak akan mempertimbangkan dampak-dampak buruk sosial yang kemungkinan akan terjadi dengan berkembangnya IPTEK. Sebagian pakar IPTEK cenderung tidak mau memikirkan dampak-dampak sosial dari hasil kerja mereka. Antara itu atau mereka menganggap pengetahuan mereka sudah memadai untuk memahami watak manusia.

Tentu saja itu pemikiran yang tolol. Neil deGrasse Tyson, ilmuwan perbintangan terkemuka, adalah contoh yang bisa menyanggah keyakinan itu.

Dia pernah memicu prahara dengan menunjukan angka kematian penembakan massal yang jauh lebih kecil daripada angka-angka kematian yang disebabkan oleh kesalahan medis, kecelakaan mobil dan penembakan perorangan; dia menuding orang-orang Amerika tidak bisa berpikir jernih karena terlalu gandrung kepada masalah yang relatif kecil dari segi bilangan.

Saking gandrungnya dia kepada angka, dia menjadi tidak peka dan alhasil membuatnya meremehken penyakit yang jelas-jelas mematikan, tidak menyadari bahwa penyakit kemasyarakatan selalu melibatkan banyak orang (namanya saja sudah jelas), ‘secuil’ apapun penyakit itu.

Entah dia benar-benar atau pura-pura tidak tahu, banyak warga Amerika berapi-api  karena lembaga-lembaga berkuasa selalu mencari-cari alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Berbeda dengan penyakit-penyakit lainnya yang masih digubris.

Saya juga harus mengemukakan bahwa para pakar IPTEK sendiri terkesan tidak tahu bahwa bidang yang mereka tekuni dikembangkan untuk menyokong kehidupan manusia. Kalau mereka tahu, mereka tidak akan menciptakan senjata-senjata seperti bom nuklir dan pesawat nirawak yang dilengkapi peluru kendali dan mereka tidak akan menciptakan aplikasi yang melanggar kehidupan pribadi orang lain.

Mungkin saja mereka menganggap penganiayaan adalah cara yang tepat untuk menyunjung tinggi rasa kemanusiaan.

Saya hampir lupa bicara tentang ‘kepintaran’ anak-anak IPA dan alasan mereka memilih jurusan tersebut.

Hingga saat ini, saya masih belum menemukan bukti bahwa semua anak-anak IPA jauh lebih pintar daripada anak-anak IPS. Yang ada malah semakin mereka menyombongkan jurusan kesayangan mereka, semakin tinggi kegoblokan mereka.

Mereka terkesan pintar karena selain mereka diharuskan mengikuti ujian agar bisa lolos masuk jurusan IPA, mereka juga memiliki hak istimewa asal-asalan yang memperbolehkan mereka untuk mengambil jurusan apapun yang mereka inginkan di perguruan tinggi.

Mungkin juga karena mayoritas orang Indonesia sudah dicuci otak kita sejak kita untuk selalu menganggap orang lain pintar hanya karena mereka anak IPA.

Jika saya bertanya mengapa orang-orang itu memilih menjadi anak-anak IPA, saya yakin sebagian besar tidak menjawab ‘cinta akan ilmu alam’. Saya yakin mereka akan menjawab ‘terbukanya pintu-pintu perguruan tinggi dan lapangan kerja’ atau mereka ‘ingin menjadi pintar’.

Ingin menjadi pintar. Karena kesombongan yang saya sebutkan beberapa paragraf sebelumnya, saya yakin sebenarnya mereka itu hanya ingin sekedar terlihat pintar. Di dalam hati, mereka sebenarnya sadar akan ketololan mereka sendiri. Mereka memilih jurusan IPA (dan kepribadian yang sombong) karena mereka ingin menutupi aib. Orang-orang lain yang bodoh tentu saja akan tertipu oleh muslihat tersebut.

Sebenarnya sejak kecil saya sudah tertarik dengan ilmu-ilmu alam. Bahkan, bisa dibilang, kecintaan saya akan ilmu-ilmu sosial lahir saat saya hampir lulus SMP.

Saya memilih jurusan IPS karena saya pendidikan IPA di Indonesia sangatlah bobrok. Agar bisa memahami ilmunya, kita harus melakukan penerapan di laboratorium dan tidak hanya sekedar menghafal. Seumur-umur saya belajar di Indonesia, saya hanya mengalami penerapan laboratorium di sekolah internasional.

Tentu saja, pendidikan IPS di Indonesia juga bobrok. Tetapi, pendidikan IPS tidak memerlukan penerapan di laboratorium. Alhasil, kegondokan saya saat belajar IPS tidak terlalu menonjol dan saya masih agak bergidik tentang kemungkinan saya belajar IPA lagi secara formal.

Kecintaan pada ilmu-ilmu alam masih menjangkiti saya hingga hari ini. Saya membaca karya-karya tulisan dan menonton video-video berbau IPA karena saya sungguh-sungguh tertarik dengan tentang tatanan alam semesta dan kedudukan umat manusia di dalamnya. Saya tidak mengharapkan imbalan.

Dan karena itulah saya jauh lebih berpengetahuan di IPA daripada mereka-mereka yang belajar karena rasa gengsi.

Mereka gampang dikibulin berita-berita bohong; semakin gila beritanya, semakin mereka percaya.

Mereka gampang dikibulin ocehan tentang ‘pengobatan alternatif’.

Mereka tidak tahu bahwa, jika kita bicara tentang makanan dan obat-obatan, kata ‘alami’ sangatlah susah diartikan dengan tepat.

Mereka tidak tahu cara kerja vaksin.

Mereka tidak tahu bahwa gangguan kejiwaan hanya bisa disembuhkan secara medis dan tidak bisa disembuhkan dengan ‘kekuatan pikiran’.

Mereka masih beranggapan teori adalah hasil dari main tebak-tebakan.

Mereka masih beranggapan kisah pribadi dapat digunakan sebagai bukti ilmiah.

Mereka masih beranggapan fakta-fakta ilmiah selalu bersifat mutlak.

Percuma negara berjubel dengan anak-anak IPA, kalau masih banyak di antara kita yang menganut ‘ilmu-ilmu’ semu (pseudosciences) dan berpikir seperti kera-kera yang belum berevolusi.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.