My worried take on Indonesian tourism

Note:

I initially wanted to submit this essay, which was originally written in Indonesian, to a writing contest. But, because of technicalities, I missed the deadline. Oh, well.

Honestly, I am worried about it.

On one hand, I would love for the Indonesian tourism industry to thrive. I would love for those places with high potentials to be visited by tourists. Besides the obvious economic benefits, as a nation, we would be able to brag to the world about the abundance of natural and cultural beauty in the country. We would have a bigger sense of pride.

But, just like everything in life, tourism has a downside.

First and foremost, once it thrives in a region, the residents will be too economically dependent on the tourism industry. No matter how big an industry is, its coverage is and will always be limited. Once the dominant industry collapses, the region’s economy will experience free fall; the effect would not be as severe if the economy is more diversified.

Of course, it tends to happen in places where the economies have been fragile from the very beginning, either because of the small population, geographical isolation, or the neglect by the local and/or central governments. But, every famous tourist destination does share the same problem: the tourists themselves.

Their overwhelming presence often makes the locals don’t feel at home in their own turfs, in where they are forced to adapt to the outsiders’ desires. If this problem becomes out of control, it will turn the locals xenophobic and cause social instability.

Of course, instability does not happen to every famous tourist destination. This is one hundred percent purely hypothetical on my part. Theoretically, it can happen. But, that does not mean it has happened or will happen. Even though I am sure some of the locals have grown to dislike the tourists, I don’t know if the dislike has ever caused long-lasting social instability.

But, I am one hundred percent certain the surge of tourists causes physical damages.

Human presence will definitely ruin places that are still natural and loaded with rich histories. Ideally, if one desires absolute conservation, one has to ban tourism altogether. But, if one wants to reap financial benefits from tourism (and I cannot judge those who do) while conserving at the same time, one has to limit the number of visitors.

The restriction will definitely limit the profits. Moreover, even if the risk of damage has become minuscule and the management is effectively implemented, the risk is still there as long as humans are present. We cannot guarantee every single visitor behaves like a civilised human being.

I believe the tourism must go on. But, the activities must be bound by sensible rules if one does not want turn a blessing into a curse.

And we should never be too dependent on that particular industry.

Oh yeah, I also have some words about Peter F. Gontha’s statement regarding Indonesian tourism.

He stated that we should give the tourism spotlights on beaches while sidelining gamelan. His reason? Foreigners prefer beaches over music.

Three reasons why I am disappointing with his statement.

First of all, Indonesia is not the only country with beautiful beaches; they are bountiful in other tropical and subtropical regions. Meanwhile, gamelan can only be found in Indonesia and there aren’t many countries that can boast similar musical instruments. Prioritising attractions that are bountiful in the world will strain our competitiveness.

Second, even if foreigners are admittedly more attracted to beaches, their interest in gamelan is also high. Believe or not, many of us travel overseas because we want to have a taste of foreign cultures. I am sure there are foreigners other than scholars and students who are interested in gamelan.

Third (and most importantly), prioritising beach tourism means we encourage the people to prioritise monetary benefits over everything and we encourage them to perceive their heritage as mere decorations. Satisfying foreigners’ hedonistic desires is more important than preserving our nation’s identity.

I am sure that was not his intention. But, if we put his suggestion into practice, we will encourage the citizenry who is already dismissive about their ancestral heritage to be even more dismissive.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

Was-was akan pariwisata Indonesia

Catatan:

Sebenarnya saya berencana untuk menyerahkan karangan ini untuk perlombaan menulis. Tetapi, karena permasalahan teknis, saya melewati tenggat waktu. Ya, sudahlah.

Jujur, saya was-was dengan industri pariwisata.

Pada satu sisi, saya ingin sekali pariwisata Indonesia maju. Saya ingin sekali setiap tempat-tempat yang memilik potensi dikunjungi oleh para wisatawan. Selain manfaat ekonomis yang sudah pasti akan berlimpah ruah, sebagai bangsa kita juga bisa berunjuk gigi kepada dunia dengan menampilkan keindahan alam dan kebudayaan bangsa yang berlimpah ruah. Kita akan memiliki rasa bangga yang jauh lebih tinggi.

Tetapi, seperti setiap hal dalam hidup, pariwisata juga ada sisi buruknya.

Pertama, sekalinya sukses berjalan di suatu daerah, warga-warga setempat menjadi sangat tergantung pada industri pariwisata di perekonomian mereka. Sebesar-besarnya suatu industri, cangkupannya akan selalu terbatas. Jika sebuah industri yang menonjol tiba tiba tumbang, perekonomian daerah tersebut juga akan terjun bebas; dampaknya tidak akan terlalu gawat jika perekonomiannya terdiri atas sektor-sektor yang jauh lebih beragam.

Tentu saja, kasus seperti itu cenderung terjadi di daerah-daerah di mana kondisi perekonomian sudah rentan sejak awal, entah karena angka penduduk yang sangat rendah, lokasi mereka yang sangat terpencil dan/atau kecilnya perhatian dari pemerintah setempat dan/atau pusat. Tetapi, setiap tujuan wisata terkemuka memiliki satu permasalahan yang sama: wisatawan-wisatawan itu sendiri.

Saking banyaknya mereka yang datang, para warga setempat sering merasa tidak nyaman di rumah sendiri, di mana mereka dipaksa beradaptasi untuk memuaskan kemauan-kemauan orang-orang luar. Jika hal itu tidak terkendali, xenophobia akan tumbuh di dalam hati warga-warga setempat dan menciptakan ketidakstabilan sosial.

Tentu saja, ketidakstabilan tersebut tidak selalu terjadi di setiap tujuan-tujuan wisata terkemuka. Ini adalah pengandaian yang seratus persen berasal dari pemikiran saya sendiri. Secara teoris, hal itu mungkin saja bisa terjadi. Tapi, belum tentu pernah atau akan terjadi. Walaupun saya yakin sebagian warga-warga setempat memiliki rasa tidak suka terhadap para pelancong, saya tidak tahu apakah ketidaksukaan tersebut pernah berujung kepada ketidakstabilan sosial yang berkepanjangan.

Tetapi, saya yakin seratus persen banyaknya pengunjung memberikan dampak kerusakan fisik.

Wilayah-wilayah yang masih dapat dibilang alami dan memiliki nilai sejarah yang tinggi sudah pasti akan dirusak oleh kehadiran manusia. Idealnya, jika kita menginginkan pelestarian yang mutlak, kita harus sepenuhnya melarang pelaksanaan pariwisata.Tapi, jika kita masih ingin meraup keuntungan dari pariwisata (dan saya tidak bisa menghakimi orang-orang yang memiliki keinginan tersebut) dan sekaligus menjalankan pelestarian, kita harus membatasi jumlah pengunjung.

Keuntungan sudah pasti jauh lebih terbatas dengan adanya pembatasan itu. Ditambah lagi, walaupun risiko kerusakan menjadi sangat kecil dan pengurusan dijalankan oleh pihak berwenang dengan baik, risiko itu masih tetap ada selama manusia dibiarkan berkunjung. Kita tidak bisa menjamin setiap manusia yang berkunjung memiliki tindak-tanduk yang beradab.

Menurut saya, pariwisata negara masih tetap harus berjalan. Tapi, kegiatan pariwisata harus dibatasi dengan peraturan yang disusun dengan bijak agar kita tidak merubah berkah menjadi malapetaka.

Dan kita juga jangan terlalu tergantung pada industri tersebut.

Oh ya, saya juga punya komentar tentang pernyataan Peter F. Gontha tentang pariwisata Indonesia.

Beliau mengatakan bahwa kita harus menomorsatukan pantai-pantai sebagai atraksi wisata dan menomorduakan hal-hal yang berbau kebudayaan seperti gamelan. Alasannya? Orang-orang asing lebih suka ke pantai daripada main musik.

Ada tiga alasan kenapa saya kecewa dengan pernyataan beliau.

Pertama, Indonesia bukan satu-satunya negara dengan pantai-pantai yang indah; mereka juga berlimpah-ruah di wilayah-wilayah tropis dan subtropis lainnya. Sedangkan gamelan hanya bisa ditemukan di Indonesia dan hanya sedikit negara yang memiliki peralatan musik yang kurang lebih serupa. Menomorsatukan “tontonan” yang berlimpah di dunia akan membuat negara kita sulit bersaing.

Kedua, walaupun orang-orang asing memang jauh lebih tertarik dengan pantai, minat mereka akan gamelan juga tinggi. Percaya tidak percaya, banyak dari kita yang melancong ke luar negeri karena kita ingin “mencicipi” kebudayaan asing. Saya yakin sekali ada orang-orang asing selain para sarjana dan mahasiswa musik yang tertarik dengan gamelan.

Ketiga (dan menurut saya, alasan yang paling penting), menomorsatukan wisata pantai berarti kita mendorong masyarakat untuk mementingkan keuntungan semata dan menganggap warisan kebudayaan sebagai sekedar hiasan. Memberikan orang-orang asing kenikmatan duniawai jauh lebih penting daripada melestarikan jati diri bangsa.

Saya yakin itu bukan niat beliau. Tapi, jika saran tersebut kita laksanakan, kita akan mendorong anak-anak bangsa yang sudah tidak peduli dengan warisan leluhur untuk menjadi semakin tidak peduli.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.