How to appear environmentally woke

*puts on a mask*

As the title suggests, you don’t have to actually care about the environment. But, appearing so can help your public image among the gullible morons.

And it is so goddamn easy to do. All you have to do is to embrace the so-called “green” products.

It is cool to love cars that do not run on gas. You know, hydrogen and electric cars, especially ones made the so-called Godsend genius whom humanity can live without, Elon Musk.

Of course, we can simply implement bike-oriented, transit-oriented, mixed-used, pedestrian-friendly urban developments which not only effectively prevent air and noise pollution, but also use way less raw materials… you know, the things which those bulky and unnecessarily computerised Teslas require lots of.

But, who cares about actual effectiveness? What matters is looking cool. Oh, and if you are a car-culture fanatic, you can cling on to your fetish of those resource-hungry monsters without damaging your reputation.

Hating plastic is also a good way to go. It is trendy to do it and to love the alternatives, even though it is also scientifically unsound.

While plastic waste is indeed destructive, its productions is actually way more environmentally friendly than the productions of those more “natural” alternatives, as they require more agricultural practices and therefore, more destruction of the natural environments. Not to mention that plastic ban targets specific products while ignoring the rest. The randomness makes the whole thing futile.

But, again, it is trendy to hate plastic. Who cares about whether something is actually green or not? In fact, not only hating plastic makes you look cool, it can also disguise your hatred of disabled people.

People don’t realise how dependent many disabled people are on plastic straws. Some say they should be replaced with metal and paper straws, despite the fact that metal is great heat conductor and paper – no matter how thick it is – can get soggy. It sounds like you cannot use plastic ban to hide your ableism.

Actually, you can. For some reasons, when talking about straws, many people forget how hot metal can be and how soggy paper can be. Consequentially, despite their legitimate concerns, the protesting disabled people are dismissed as spoiled brats.

So yes, you can definitely use plastic ban to satisfy your hatred of cripples.

If I dig deeper, I am sure we can find more ways to use environmental wokeness for our selfish interests. But, those two are definitely the most popular ones.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.

Was-was akan pariwisata Indonesia

Catatan:

Sebenarnya saya berencana untuk menyerahkan karangan ini untuk perlombaan menulis. Tetapi, karena permasalahan teknis, saya melewati tenggat waktu. Ya, sudahlah.

Jujur, saya was-was dengan industri pariwisata.

Pada satu sisi, saya ingin sekali pariwisata Indonesia maju. Saya ingin sekali setiap tempat-tempat yang memilik potensi dikunjungi oleh para wisatawan. Selain manfaat ekonomis yang sudah pasti akan berlimpah ruah, sebagai bangsa kita juga bisa berunjuk gigi kepada dunia dengan menampilkan keindahan alam dan kebudayaan bangsa yang berlimpah ruah. Kita akan memiliki rasa bangga yang jauh lebih tinggi.

Tetapi, seperti setiap hal dalam hidup, pariwisata juga ada sisi buruknya.

Pertama, sekalinya sukses berjalan di suatu daerah, warga-warga setempat menjadi sangat tergantung pada industri pariwisata di perekonomian mereka. Sebesar-besarnya suatu industri, cangkupannya akan selalu terbatas. Jika sebuah industri yang menonjol tiba tiba tumbang, perekonomian daerah tersebut juga akan terjun bebas; dampaknya tidak akan terlalu gawat jika perekonomiannya terdiri atas sektor-sektor yang jauh lebih beragam.

Tentu saja, kasus seperti itu cenderung terjadi di daerah-daerah di mana kondisi perekonomian sudah rentan sejak awal, entah karena angka penduduk yang sangat rendah, lokasi mereka yang sangat terpencil dan/atau kecilnya perhatian dari pemerintah setempat dan/atau pusat. Tetapi, setiap tujuan wisata terkemuka memiliki satu permasalahan yang sama: wisatawan-wisatawan itu sendiri.

Saking banyaknya mereka yang datang, para warga setempat sering merasa tidak nyaman di rumah sendiri, di mana mereka dipaksa beradaptasi untuk memuaskan kemauan-kemauan orang-orang luar. Jika hal itu tidak terkendali, xenophobia akan tumbuh di dalam hati warga-warga setempat dan menciptakan ketidakstabilan sosial.

Tentu saja, ketidakstabilan tersebut tidak selalu terjadi di setiap tujuan-tujuan wisata terkemuka. Ini adalah pengandaian yang seratus persen berasal dari pemikiran saya sendiri. Secara teoris, hal itu mungkin saja bisa terjadi. Tapi, belum tentu pernah atau akan terjadi. Walaupun saya yakin sebagian warga-warga setempat memiliki rasa tidak suka terhadap para pelancong, saya tidak tahu apakah ketidaksukaan tersebut pernah berujung kepada ketidakstabilan sosial yang berkepanjangan.

Tetapi, saya yakin seratus persen banyaknya pengunjung memberikan dampak kerusakan fisik.

Wilayah-wilayah yang masih dapat dibilang alami dan memiliki nilai sejarah yang tinggi sudah pasti akan dirusak oleh kehadiran manusia. Idealnya, jika kita menginginkan pelestarian yang mutlak, kita harus sepenuhnya melarang pelaksanaan pariwisata.Tapi, jika kita masih ingin meraup keuntungan dari pariwisata (dan saya tidak bisa menghakimi orang-orang yang memiliki keinginan tersebut) dan sekaligus menjalankan pelestarian, kita harus membatasi jumlah pengunjung.

Keuntungan sudah pasti jauh lebih terbatas dengan adanya pembatasan itu. Ditambah lagi, walaupun risiko kerusakan menjadi sangat kecil dan pengurusan dijalankan oleh pihak berwenang dengan baik, risiko itu masih tetap ada selama manusia dibiarkan berkunjung. Kita tidak bisa menjamin setiap manusia yang berkunjung memiliki tindak-tanduk yang beradab.

Menurut saya, pariwisata negara masih tetap harus berjalan. Tapi, kegiatan pariwisata harus dibatasi dengan peraturan yang disusun dengan bijak agar kita tidak merubah berkah menjadi malapetaka.

Dan kita juga jangan terlalu tergantung pada industri tersebut.

Oh ya, saya juga punya komentar tentang pernyataan Peter F. Gontha tentang pariwisata Indonesia.

Beliau mengatakan bahwa kita harus menomorsatukan pantai-pantai sebagai atraksi wisata dan menomorduakan hal-hal yang berbau kebudayaan seperti gamelan. Alasannya? Orang-orang asing lebih suka ke pantai daripada main musik.

Ada tiga alasan kenapa saya kecewa dengan pernyataan beliau.

Pertama, Indonesia bukan satu-satunya negara dengan pantai-pantai yang indah; mereka juga berlimpah-ruah di wilayah-wilayah tropis dan subtropis lainnya. Sedangkan gamelan hanya bisa ditemukan di Indonesia dan hanya sedikit negara yang memiliki peralatan musik yang kurang lebih serupa. Menomorsatukan “tontonan” yang berlimpah di dunia akan membuat negara kita sulit bersaing.

Kedua, walaupun orang-orang asing memang jauh lebih tertarik dengan pantai, minat mereka akan gamelan juga tinggi. Percaya tidak percaya, banyak dari kita yang melancong ke luar negeri karena kita ingin “mencicipi” kebudayaan asing. Saya yakin sekali ada orang-orang asing selain para sarjana dan mahasiswa musik yang tertarik dengan gamelan.

Ketiga (dan menurut saya, alasan yang paling penting), menomorsatukan wisata pantai berarti kita mendorong masyarakat untuk mementingkan keuntungan semata dan menganggap warisan kebudayaan sebagai sekedar hiasan. Memberikan orang-orang asing kenikmatan duniawai jauh lebih penting daripada melestarikan jati diri bangsa.

Saya yakin itu bukan niat beliau. Tapi, jika saran tersebut kita laksanakan, kita akan mendorong anak-anak bangsa yang sudah tidak peduli dengan warisan leluhur untuk menjadi semakin tidak peduli.

.

.

.

.

.

Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.