Orang Indonesia sudah tahu bahwa kita bangsa yang malu akan dirinya sendiri.
Tentu saja, banyak perilaku anak-anak bangsa yang memalukan. Tetapi, kita juga malu karena hal-hal yang saya anggap sepele: malu karena warisan budaya kita sendiri.
Saya akan berikan dua contoh kasus.
Kasus pertama:
Di Facebook, di suatu postingan tentang makanan, ada seorang WNA keturunan Indonesia yang mengatakan dia tidak suka masakan Indonesia karena rasa rempahnya terlalu kuat dan “tidak berimbang”. Itu sebabnya dia lebih suka masakan India dan Thailand. Dia hanya suka masakan Indonesia yang dibuat di luar negeri.
Dia juga bilang masakan Thailand jauh lebih “berbudaya tinggi” daripada masakan Indonesian dan itu sebabnya kenapa restoran Thailand ada di mana-mana.
Kasus kedua:
Di Youtube, saya membuat komentar tentang budaya Indonesia yang jarang terlihat di panggung dunia. Tidak lama kemudian, ada orang Indonesia yang mengatakan bahwa ketidakpopuleran budaya kita disebabkan oleh ketiadaan ketulenan estetika.
Dia mengatakan budaya leluhur kita hanyalah jiplakan budaya Arab dan Tionghoa. Dia percaya itulah alasan kenapa orang asing lebih tertarik mempelajari kebudayaan Malaysia, Thailand dan Filipina.
Jika kita kaji dengan teliti, dalihan mereka tidak masuk akal.
Orang pertama bilang dia tidak suka masakan Indonesia karena rempahnya yang terlalu kuat dan “tidak berimbang”. Tapi, dia juga memuji masakan India dan Thailand….. yang juga terkenal akan rasa rempah yang kuat.
Orang kedua bilang budaya Indonesia hanya bisa “menjiplak” budaya luar. Tapi, dia juga memuji budaya Malaysia, Thailand dan Filipina….. yang juga dipengaruhi oleh budaya-budaya luar; hasilnya pun juga mirip dengan budaya Indonesia.
Mereka mengkritik Indonesia karena suatu hal… dan memuji negara-negara lain yang juga memiliki hal yang sama. Jelas sekali bahwa mereka bisa menyukai sesuatu, asalkan hal tersebut tidak berbau Indonesia.
Mereka juga mengatakan ketidakpopuleran budaya Indonesia disebabkan oleh mutunya yang rendah. Itu juga tidak masuk akal.
Jika kita telaah semua fenomena budaya-budaya yang mendunia satu persatu, kita akan temukan satu kesamaan: pemasaran. Hal itu bisa dilaksanakan oleh pemerintah untuk alasan diplomasi kebudayaan atau oleh perusahaan untuk mencari keuntungan semata.
Mau tidak mau, cara paling jitu untuk menduniakan suatu budaya adalah mempergelarkannya di panggung dunia. Tekun saja tidak cukup; kita juga harus yakin produk yang kita jual benar-benar bermutu.
Coba ingat-ingat: seberapa sering kita mendengar berita tentang orang Indonesia yang giat mempromosikan budaya kita di luar negeri? Saya yakin jawabannya “jarang” atau “tidak pernah”.
Lah, jangankan budaya, kampanye pariwisata saja kita entet-entetan. Di tahun 2019, Indonesia dikunjungi oleh 16 juta wisatawan asing. Singapura di tahun yang sama? 19 juta. Kita – negara terbesar keempat di dunia dan terbesar di Asia Tenggara – dikalahkan oleh negara berukuran imut dengan keberagaman budaya yang tidak seberapa.
Lagipula, jika ketenaran adalah bukti mutu tinggi, mengapa ‘makanan sampah’ (junk food) terkenal di seluruh dunia? Mengapa mie instan Indomie jauh lebih terkenal daripada hidangan tradisional Indonesia? Dengan logika itu, bukankah berarti ‘makanan sampah’ dan Indomie adalah makanan bermutu tinggi?
Beberapa tahun yang lalu, saya juga seperti dua orang tersebut, terutama jika menyangkut Bahasa Indonesia.
Dulu saya beranggapan Bahasa Indonesia – terutama bahasa bakunya – adalah bahasa dengan pengucapannya kasar dan datar, kosakatanya yang dangkal dan tidak berbobot dan tata bahasanya yang terlalu sederhana; itulah sebabnya saya lebih suka blogging dalam Bahasa Inggris. Sekarang, pendapat saya kurang lebih masih sama…. kecuali dalam satu hal.
Saya masih beranggapan grammatical tense berguna dalam mengurangi kerancuan waktu. Tapi, dari segi tata bahasa, saya akhirnya mengakui satu hal yang membuat Bahasa Indonesia lebih bagus daripada Bahasa Inggris: imbuhan-imbuhannya.
Tidak seperti di Bahasa Inggris, imbuhan di Bahasa Indonesia (dan di Bahasa Melayu pada umunya) jauh lebih menyeluruh dan selaras. Hanya dengan sekedar menambahkan awalan dan/atau akhiran, kita bisa mengubah makna sebuah kata dan mengurangi resiko kerancuannya. Tidak seperti di Bahasa Inggris, jarang sekali kita menemukan kata-kata lumrah yang memiliki berbagai arti.
Saya terlalu bertele-tele menjelaskan.
Inti dari ocehan saya adalah kita – sebagai orang Indonesia – berhak untuk tidak menyukai hal-hal yang berbau Indonesia. Tidak sesuai selera, mutu yang rendah, ketiadaan ikatan emosi, masalah kesusilaan, semua alasan sah-sah saja…
… Selama mereka masuk akal. Pada dua kasus tersebut, jelas-jelas alasannya tidak masuk akal.
Coba kita ingat kembali: Mereka mengkritik Indonesia akan satu hal dan memuji negara lain walaupun memiliki hal yang sama persis. Mereka juga beranggapan ketidakpopuleran budaya Indonesia adalah bukti mutunya yang rendah, walaupun jelas-jelas ada budaya asing bermutu rendah yang mendunia.
Mereka tidak suka hal-hal yang berbau Indonesia hanya karena mereka berbau Indonesia. Jika mereka adalah WNA yang bukan keturunan Indonesia, kita akan anggap mereka sebagai manusia penuh prasangka.
Tetapi, dua manusia tersebut adalah manusia berdarah Indonesia, yang sudah terpapar oleh kehidupan di dalamnya. Jelas sekali mereka malu akan jati diri mereka. Jika ada pilihan, mereka akan pilih untuk mengganti nenek moyang mereka dengan nenek moyang dari negara lain.
Pada saat yang bersamaan, mereka sadar bahwa keterusterangan mereka dapat memancing amarah orang Indonesia yang sok nasionalis. Akibatnya, mereka harus mencari-cari alasan untuk menutupi isi hati mereka yang sebenarnya.
Tapi, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, mau pakai wewangian sebanyak apapun, baunya akan tetap tercium juga.
Jika dua orang itu tidak merasa hina karena berdarah Indonesia, saya yakin ketidaksukaan mereka akan hal-hal berbau Indonesia akan jauh lebih bernalar dan tidak memojokkan bangsa tanpa alasan..
Oh ya, yang saya maksud sebagai orang sok nasionalis adalah mereka yang mengaku bangga menjadi orang Indonesia saat negara mereka dilecehkan atau dikritik tajam; tetapi, di waktu lainnya, mereka ogah melakukan usaha apapun yang bisa meninggikan martabat bangsa.
.
.
.
.
.
Donate to this deadbeat, preachy blogger on Patreon.
One thought on “Kalau gak suka, ya bilang aja! Jangan cari-cari alasan!”