Keterlenaan berlebihan akan sopan santun

Ahok adalah manusia yang penuh kontroversi. Seorang pemimpin politik beragama Nasrani keturunan Tionghoa di negara mayoritas Muslim dan non-Tionghoa yang sedang dilanda penyakit-penyakit SARA. Kehadirannya saja sudah cukup untuk menyulut masalah.

Seburuknya ketiadaan toleransi tersebut, itu bukan satu-satunya “kritikan” terhadap Ahok yang saya anggap “tidak berbobot”. Banyak orang merasa tersinggung dengan kekasaran dan ketidaksantunannya. Bagi mereka, itu sudah lebih dari cukup untuk mencoreng namanya.

Mereka tidak peduli jika seorang politikus korup, serakah atau gila kuasa. Mereka hanya peduli dengan kesopan-santunannya, betapa ia menganggap ketenaran di khayalak lebih penting dari pada kemampuan memimpin dan harga diri. Ahok adalah kebalikan dari semua itu.

Ahok lebih suka mencaci orang-orang yang memang pantas dicaci maki di muka umum. Baginya, keterbukaan akan diri yang sebenarnya, kemampuan memimpin dan harga diri jauh lebih penting dari pada ketenaran di antara orang-orang yang gampang tertipu dengan topeng-topeng kepalsuan.

Tentu saja, itu bukan berarti saya membenci tata krama. Bahkan, saya menganggap itu sebagai hal yang bernilai tinggi. Kita tidak bisa memerlakukan orang lain dengan seenaknya. Semua tindakan kita harus aturan mainnya. Tetapi, permasalahan muncul saat tata krama dijadikan sebagai pembenaran hal-hal yang buruk.

Sopan santun dan ketidakjujuran dianggap sebagai dua hal yang sama. Berterus terang dianggap kasar. Itu adalah pola pikir yang dangkal. Jika anda berpikir seperti itu, berarti yang sebenarnya anda inginkan adalah keserasian palsu.

“Keserasian” terjadi bukan karena rasa hormat yang tulus, melainkan karena ketidakberanian untuk berterus terang. Kejujuran dapat menyingkap wabah kepalsuan di kehidupan kita. Kita yang mencintai status quo menganggap kejujuran sebagai ketidaksantunan dan sumber “perpecahan”. Kehinaan pikiran tersebut tidak berhenti di situ.

Ada anggapan bahwa kesantunan juga berarti tidak mengungkapan kata-kata miring terhadap pihak yang berkuasa. Sekali lagi, jika anda berpikir seperti itu, anda tidak menginginkan kesantunan. Anda menginginkan penyembahan massal terhadap orang-orang yang berpangkat lebih tinggi.

Anda menuhankan mereka, lebih dari anda menuhankan tuhan anda sendiri. Anda tidak rela jika mereka ”tersakiti” oleh kritikan yang paling membangun sekalipun. Apapun akan anda lakukan untuk melindungi sembahan anda. Bahkan, anda mendukung pemberian sanksi kepada para kritikus. Pada akhirnya, anda adalah kaki tangan penindasan.

Mungkin anda berpikir saya terlalu mengada-ada. Saya akui hal ini sulit dipercaya bagi anda yang sudah terbiasa menyembah sesama manusia. Mungkin anda setuju dengan pernyataan saya, tanpa sadar anda mungkin juga melakukan hal yang sama. Sekali lagi, kehinaan ini belum berhenti di situ.

Anda juga berpikir kesantunan adalah segala-segalanya. Itu adalah satu-satunya yang pantas dipuji dari seseorang. Anda tidak mau bersusah payah untuk menilai seseorang lebih dalam. Anda dengan mudahnya tertipu oleh topeng yang menutupi sisi buruk seseorang.

Anda tidak percaya bahwa seseorang dapat menyandang kesantunan dan ketidakmampuan secara bersamaan. Bahkan, anda tidak percaya bahwa seorang yang santun bisa dipenuhi dengan kenistaan moral. Kecintaan terhadap kesantunan membuat anda buta.

Itu adalah pola pikir yang berbahaya. Jika anda memiliki hak untuk mencoblos, anda akan mengisi jabatan-jabatan penting dengan makhluk-makhluk yang hanya bermodal santun. Keahlian nol. Kebajikan nol. Demi melindungi perasaan-perasaan anda yang mudah tersinggung, anda rela mengorbankan masyarakat yang harus dipimpin oleh kebrobrokan.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya menjunjung tinggi kesantunan. Saya beranggap bahwa interaksi kita dengan sesama manusia harus ada aturan mainnya. Tetapi, sekali lagi, anda harus memiliki patokan yang tinggi. Anda harus menuntut agar kesantunan diiringi dengan kemahiran dalam bekerja, kejujuran dan ketulusan hati. Janganlah menjadi manusia yang dangkal.

Sebelum saya mengakhiri omelan, sebagian dari anda pasti berpikir bahwa artikel ini adalah propaganda kampanye Ahok; pokok pembicaraan di sini hanyalah kedok. Anda setengah benar.

Saya tidak dibayar oleh tim kampanye Ahok. Saya dengan rela menulis artikel ini, dibayar ataupun tidak. Saya memang adalah pendukung Ahok, walaupun saya tidak tinggal di Jakarta.

Menurut saya, beliau memang memiliki perangai yang kasar…dan juga kemampuan memimpin yang terbukti kokoh. Kecaman-kecaman tentang Ahok (kecuali tentang ketidaksantunannya) terbukti penuh omong kosong. Mereka semua hanyalah berdasarkan keculasan.

Seperti Ahok, saya juga menghabiskan sebagian besar hidup saya di Sumatra. Orang-orang Sumatra memang terkenal akan perangai kita yang buruk (ibu saya yang besar di Jawa sangat mementingkan sopan santun). Tetapi saya juga belajar bahwa penilaian orang harus ditekankan pada “isi” mereka. Bentuk luar mereka lebih sering menipu.

Lagi pula, Ahok juga sadar akan kekasarannya dan dia berusaha untuk lebih baik.

Author: The Stammering Dunce

I write blogs. I love to act smarter than I really am and I pretend that my opinions are of any significance. Support me on Patreon: https://www.patreon.com/user?u=9674796

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: